Powered By Blogger

Sabtu, 10 Juli 2010

Bisikku Dari Sebrang


Mataharipun tenggelam
tak sanggup lihat gundahnya purnama
saat bintang bertaburan
resah menunggu terangnya bulan
dan aku hanya berdiri
lihat tetesan bening diwajah yang berjuang
terus menetes semakin jauh kedalam
seakan lorongku berontak
lidahku tak sanggup dengar hati berucap
terus ku tatap saat mataku terpejam
ku dengar rapuh dari negri sebrang
ku lihat perih purnama terang
ku rasa tegar hati yang berjuang

Jumat, 09 Juli 2010

dimanakah anak anak singkil...???!!!


saya mungkin juga sudah terlalu lama tidak pulang kesingkil tapi hati saya selalu setia menunggu saya pulang..
saya merindukan singkil dan saya meliahat disitus dan blog membaca tentang singkil perih hati saya bertanya dan sangat ingin sekali saya meberikan suatu yang berharga buat kampung tercinta namun saat ini saya belum mampu..

untukmu singkil semoga kau masih setia menunggu anak anakmu pulang..
dan untuk semua teman tanah kelahiranku dan dimanapun berada mulailah kita mepersiapkan suatu yang yang lebih perfect demi kampung halaman kita...
mukin hanya lewat ini kita bisa berbagi pikiran dan ide..
dan jangan jadikan perpisahan kita sebagai penghambat untuk menuju sinkikita tlah diberi tantangan dan akan bisa melewatinya apabila kita saling berjabat tangan menhilangkan semua perbedaan demi masa depan generasi aceh singkil...

bagi kita yang berani dan anggup untuk melakukannya mulailah untuk berbuat karna itu pasti akan menciptakan perubahan...
salam kompak untuk seluruh anak singkil....
kalian memang generasi yang membanggakan...

Mencermati Satu Dasawarsa Aceh Singkil


Cobalah buka kamus besar bahasa Indonesia, edisi perdana 1988. Dalam kamus tersebut terdapat kata "Singkil" yang punya dua arti. Pertama, Singkil artinya ikat pinggang (eratkan, kencangkan ). Kedua, Singkil artinya berasa tidak enak (ketika mendengar, melihat dan membaca ).


Entah kebetulan atau tidak kedua arti tersebut sangat relevan dengan kondisi kabupaten Aceh Singkil, Provinsi NAD, yang pada 27 April 2009 lalu genap berusia 10 tahun (satu dasawarsa).


Arti yang pertama menggambarkan kondisi rakyat Aceh Singkil yang memang masih harus mengencangkan ikat pinggang (menahan lapar), karena miskin.


Arti yang kedua melukiskan bahwa apapun cerita tentang kondisi Aceh Singkil saat ini selalu terasa tidak enak didengar, dilihat, dan dibaca. Di media massa yang kita baca hanyalah masalah banjir, SKPD yang amburadul, PDAM yang mandul, dan korupsi yang merajalela.


Tidak pernah kita lihat di televisi, kita dengar di radio atau kita baca di koran bahwa Kabupaten Aceh Singkil memperoleh penghargaan karena berprestasi di bidang ketahanan pangan, olahraga, atau di bidang pendidikan, dll.

Konsep Salah Kaprah


Tanpa terasa Aceh Singkil sudah berusia 10 tahun. Apa yang sudah di capai daerah ini dalam usia yang kata petingginya masih muda itu? Jawabnya belum ada kemajuan dan masih jalan di tempat.


Memang ada sedikit perubahan tapi perubahan itu belumlah sebanding dengan jumlah uang yang telah masuk ke Aceh Singkil. Anggaran yang dikucurkan setiap tahunnya cukup besar, tetapi hasil pengamatan penulis dengan anggaran yang cukup besar itu jumlah penduduk miskin di Aceh Singkil belum menurun bahkan mungkin semakin bertambah.


Kenapa begitu? Jawabnya adalah karena setiap tahun para kepala SKPD meluncurkan kegiatan yang tidak tepat sasaran, lebih banyak untuk kegiatan fisik gedung dan belanja di sekretariat daerah yang tidak memberdayakan ekonomi rakyat, tidak dinamis, tidak realistis, over lapping, besarnya anggaran untuk pegawai, besarnya dana untuk pembelian barang dan jasa dalam setiap jenis proyek serta banyaknya dana yang terpakai untuk kegiatan seremonial yang bersifat rutinitas dan kurang strategis, tanpa inovasi dan kreasi.


Tiap tahun para kepala SKPD meluncurkan program/kegiatan tanpa pernah sebelumnya mendiagnosis jenis "penyakit" kemiskinan itu secara tepat berikut bentuk terapinya yang mujarab. Makanya, arang habis besi binasa.


Di samping itu konsep pembangunan yang dijalankan selama ini sudah salah kaprah, tidak terfokus kepada satu sektor saja, tetapi memakai konsep "cilet-cilet". Artinya, selama ini pembangunan yang dilakukan dengan cara membangun sektor perikanan sedikit, sektor peternakan sedikit, sektor pertanian sedikit.


Konsep ini sampai kiamat pun tidak akan membawa perubahan. Seharusnya setiap sektor pembangunan menjadi target pertahunnya, tidak mengambang seperti yang ada selama ini, target apa dan bagaimana cara mencapainya juga harus jelas.


Sejak awal berdirinya sampai sekarang program pembangunan di Aceh Singkil lebih mengutamakan pembangunan fisik terutama kantor- kantor pemerintah, yang sekarang mubazir.


Lebih parah lagi, pendopo bupati yang masih layak pakai tapi sudah dibangun yang baru. Kantor-kantor pemerintah tersebut berderet sepanjang 22 Km dari kota Singkil ke kampung baru.


Sebuah deretan perkantoran yang terpanjang di jagat raya dan sudah pantas masuk Guinnes Book of Record. Tidak ada penanaman pohon atau penghijauan sepanjang jalan itu juga dalam Kota Singkil sebagai ibukota Kabupaten.


Yang menonjol adalah banyaknya bersileweran mobil-mobil dinas yang sangat kontras sekali dengan meningkatnya jumlah pengangguran dan kehidupan masyarakat di desa-desa yang sungguh sangat memilukan.


Seharusnya sejak awal program pembangunan dimulai dengan memperkuat basis ketahanan ekonomi masyarakat agar mereka bisa menghidupi dirinya sendiri.


Penulis belum menemukan ada persawahan yang terbentang walaupun hanya 10 Ha. Nelayan yang meningkat taraf hidupnya, atau industri kecil menengah atau industri pengolahan yang akan memacu perekonomian daerah dan membuka lapangan kerja.

Penutup


Menurut hasil penelitian pakar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zahra, 80% dari 198 daerah yang sudah dimekarkan tidak berhasil membawa kesejahteraan kepada rakyatnya.


Dan penulis berani bertaruh, salah satu kabupaten tersebut adalah kabupaten Aceh Singkil yang belum mampu menyediakan pelayanan dasar kepada rakyatnya seperti sandang, pangan, papan kesehatan dan pendidikan.


Entah apa yang terjadi pada daerah ini sehingga serba tidak bagus, pasti ada yang salah urus, mungkin karena niat para pejabatnya tidak lurus dan mereka mengelola daerah tidak becus, atau sengaja dibuat sekenario bulus supaya hasrat pejabat bisa mulus, kenapa mereka sangat susah menjadi orang yang berbuat dan bekerja secara tulus bahkan tega membiarkan rakyat yang semestinya mereka urus.


Masih cukup panjang deretan kebobrokan pemerintah Aceh Singkil yang ingin penulis kupas tuntas disini. Akan tetapi penulis tidak punya ruang terlampau leluasa untuk melancarkan kritik.


Kritik penulis ini sebenarnya sudah kehilangan otentitasnya karena ketika membaca tulisan ini rakyat Aceh Singkil seperti membaca saya mengkritik sesuatu yang saya sendiri sebagai kepala dinas tujuh tahun masuk dalam kabinet yang amburadul itu. Meminjam istilah PT Pos Indonesia,"Kritik ini kembali ke alamat si pengirim".


Sudah saatnya para pejabat di Aceh Singkil mengencangkan ikat pinggang bersama-sama rakyat. Satu dasawarsa kabupaten Aceh Singkil bukan tidak ada kemajuan tapi jauh dari yang dicita-citakan. Rakyat Aceh Singkil sudah terlalu lama menunggu, sementara permasalahan yang muncul terus berlapis.


Sebagian masyarakat masih sabar namun terasa berat menanggung beban kehidupan. Mereka menyerahkan diri kepada yang Maha Kuasa. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.


Mereka mengais pagi untuk kehidupan petang. Jauh rasanya untuk dapat mengenyam pendidikan dan kesehatan jika kebutuhan pokok saja sulit untuk dipenuhi. Kasihanilah rakyat Aceh Singkil yang sudah terlalu lama didera kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan seperti tidak punya masa depan.

Penulis adalah mantan kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Aceh Singkil

Tas Produksi Aceh Singkil Diluncurkan



Rabu, 24 Maret 2010
Singkil, (Analisa)

Setelah sukses dengan pemasaran sepatu merek Mendena buatan Aceh Singkil, Dinas
Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM setempat kembali meluncurkan tas merek
Mendena di Lipat Kajang, Jumat (19/3).
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Aceh Singkil, H. Mauiddah, SE
mengatakan, tas ini merupakan hasil kerajinan tangan putra-putri Aceh Singkil setelah
mendapat pelatihan di luar daerah. Pekerjaan pembuatan tas tersebut dapat dikerjakan ibu-ibu
rumah tangga di daerah ini dengan produksi yang cukup banyak.
Sementara untuk pemasaran, menurut Mauiddah, sangat optimis sebagaimana pemasaran
sepatu merek Mendena. Namun harus ada kecintaan masyarakat daerah ini untuk
menggunakan produksi lokal, katanya.
Menurutnya, pemasaran untuk produksi pertama diperuntukkan bagi anak sekolah di daerah itu.
J umlah siswa tingkat SD hingga SMA mencapai 31.146 orang yang merupakan pasar
potensial. Selain memakai sepatu lokal, para siswa juga akan menggunakan tas produk Aceh
Singkil.
Apabila pemasaran tingkat lokal lancar, maka produksi tas ini akan mampu menyerap sekitar 40
tenaga kerja. Tas untuk kaum ibu produksi Mendena berkualitas dan dapat bersaing di pasaran.
Dia berharap masyarakat akan mencintai produksi daerah sendiri. Warga Aceh Singkil memakai
produk daerah sendiri, sehingga sepatu merek Mendena yang sudah cukup dikenal akan diikuti
oleh tas merek Mendena.
Bupati Aceh Singkil, H. Makmursyah Putra dalam sambutannya menyebutkan rasa gembiranya
untuk tas produk daerah itu. Dia berharap produk ini akan mampu berkembang sebagaimana
juga sepatu produksi yang sama.
Dia berharap seluruh masyarakat mencintai dan memakai produk daerah sendiri, sehingga
industri daerah ini berkembang. Produksi peci yang sudah dikenal di Singkil juga harus
dikembangkan.
Selanjutnya industri bidang perikanan seperti ikan lele asap dan belacan. Industri pertanian dari
tapioka, jagung dan lainnya juga harus dikembangkan. Menurut bupati, warga Aceh Singkil
tidak lagi hanya terfokus dalam bidang perkebunan kelapa sawit tetapi juga industri lainnya.
Peluncuran produk ini ditandai dengan membagikan tas merek Mendena kepada para siswa
dan guru dari berbagai sekolah oleh bupati dan Muspida. Dalam kesempatan itu bupati
membagi-bagikan puluhan tas ibu-ibu kepada ibu PKK dan pengunjung. (sjp)

Etnis Masyarakat Singkil

Penduduk dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil secara garis besar dapat dikelompokkan berdasarkan asal-usulnya, walaupun sekarang ini sudah samar (tidak kentara lagi).

Ada beberapa etnis awal atau asal dari penduduk yang menetap di wilayah Singkil, dan dengan penelusuran jejak asalnya secara global maka terdapat berbagai etnis didalamnya yaitu : Etnis Aceh, Etnis Batak, Etnis Minangkabau, Etnis Nias, dan Etnis-etnis lainnya dalam jumlah kecil.

Pengelompokan ini didasarkan karena dari setiap etnis masih dapat dirinci asal muasal etnis tersebut datang ke Singkil.Faktor-faktor yang menjadi tujuan utama etnis-etnis tersebut datang ke wilayah Singkil adalah karena faktor ekonomi serta faktor-faktor sekunder lainnya.

Sejarah Aceh Singkil


Pada permulaan abad ke 16 Kerajaan Aceh berada pada masa puncak kejayaannya, dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda ( 1607 – 1638 ). Daerah kekuasaannya meliputi pantai barat pulau Sumatera dari Bengkulu hingga ke pantai timur pulau Sumatera yang meliputi Riau. Pada masa itu terdapat pula Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Aceh itu sendiri, salah satunya terdapat di wilayah Aceh Singkil.

Dari peninggalan-peninggalan sejarah yang ada serta cerita rakyat yang berkembang menunjukkan bukti adanya kerajaan-kerajaan di wilayah Singkil itu sendiri. Beberapa peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut dapat dilihat dari ditemukannya situs-situs bangunan serta alat-alat perlengkapan hidup seperti senjata, peralatan makan, perhiasan, perlengkapan pertanian, adat istiadat. Hal ini menunjukkan adanya struktur masyarakat berlapis yang ditunjukkan dengan terdapanya nama (gelar) Raja, pembantu-pembantu raja dan rakyat biasa. Sewaktu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, didudukkanlah Syeikh Abdul Rauf as Singkili yang berasal dari wilayah Singkil sebagai tempat orang merujuk hukum agama atau hukum Syara.

Lahir di Singkil dari keluarga yang ada hubungannya dengan Hamzah Fansuri seorang tokoh kepenyairan di Indonesia. Pada masa itu masyarakat Aceh Singkil sudah memiliki peradaban yang tinggi serta mempunyai pemerintahan, hal ini dikuatkan dengan adanya Kerajaan Batu-batu, Penanggalan, Binanga dan lain-lainnya. Dalam perjalanan waktu Aceh Singkil telah melewati masa-masa peralihan kekuasaan diantaranya adalah : – Masa Pemerintahan Kolonial Belanda – Masa Pemerintahan Penjajahan Jepang – Masa Kemerdekaan Republik Indonesia

Masa Pemerintahan Kolonial Belanda, Pada masa pemerintahan kolonial Belanda , wilayah Singkil merupakan Onderrafdeeling (Kewedanan) yang dikepalai oleh Controleur , dimana Onderrafdeeling ini membawahi empat Landschap (Kecamatan) yaitu Singkil, Pulau Banyak, Simpang Kiri dan Simpang Kanan yang masing-masing kecamatan tersebut dikepalai oleh seorang “Zelfbestuurder ” (Camat) yang juga membawahi empat kemukiman yang dikepalai oleh seorang Mukim. Dan Mukim juga membawahi beberapa Kepala Kampong di kemukimannya. Onderrafdeeling (Kewedanan) pada masa indonesia merdeka diganti namanya menjadi Pembantu Bupati Wilayah Singkil.

Adapun peninggalan-peninggalan dari masa penjajahan kolonial Belanda ini berupa kantor pemerintahan,kantor pelabuhan, kantor pos, rumah controleur , sekolah (volgschool dan vervolgschool ), Mesjid serta rumah-rumah yang pernah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke 19. Wilayah Singkil pada masa itu masih berupa hutan belantara, dimana sebahagian besar mata pencaharian penduduk masih sangat tergantung dari potensi yang ada pada alam, terutama dibidang hasil kehutanan seperti kayu, kapur barus, kemenyan, dibidang pertanian, perikanan, serta pelayaran. Selain itu didaerah pesisir pantai Singkil banyak dihuni oleh pembuat garam dapur dari air laut. Wilayah Singkil merupakan salah satu daerah yang diperbolehkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membuat garam, dimana garam yang dihasilkan kemudian diperdagangkan dengan pedagang-pedagang yang datang ke Singkil terutama sekali dari Alas, Blangkejeren yang diangkut melalui jalur sungai di Singkil. Pemerintah penjajahan kolonial Belanda pada saat itu juga telah membuka perkebunan kelapa sawit dan karet di daerah Lae Butar Rimo.

Pada masa itu banyak didatangkan pekerja (buruh) dari daerah pulau Jawa yang dipekerjakan diperkebunan milik Belanda dengan cara sistem kontrak yang lebih dikenal dengan “Kuli Kontrak”. Seiring dengan dibukanya perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda ini maka semakin terbukalah wilayah Singkil bagi masuknya penduduk lain diluar wilayah Singkil.

Masa Pemerintahan Penjajahan Jepang , militer Jepang masuk kewilayah Onderafdeeling Singkil untuk pertama kali melalui perairan laut Singkil. Mereka mendarat melalui tepian tepat didepan kantor Controleur . Pendaratan militer Jepang ke Singkil ini dipimpin oleh Letnan Satu Nakamura, yang kemudian mengambil alih kekuasaan di Singkil dari Pemerintah kolonial Belanda yang pada saat itu telah mengungsi ke daerah perkebunan Lae Butar di Rimo.

Selama dalam kekuasaan militer Jepang, mereka tidak merubah status wilayah Singkil sebagai Onderafdeeling (Kewedanan) hanya istilahnya saja yang diganti sesuai dengan bahasa Jepang seperti Onderafdeeling diganti dengan Gun dan Landschap diganti dengan Son . Pada masa kekuasaan Jepang diwilayah Singkil, roda pemerintahan tidak berjalan dengan lancar. Penyesuaiannya dalam waktu yang relatif singkat dalam ukuran tahun yakni 3,5 tahun tetapi telah banyak mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan bagi masyarakat Singkil. Ketika Jepang kalah perang dengan pasukan Sekutu, maka sekutu memerintahkan kepada militer Jepang untuk mengawasi keamanan setempat sebelum wilayah itu diambil alih oleh pihak sekutu.

Akan tetapi Indonesia telah terlebih dahulu memproklamirkan kemerdekaannya dan telah menjadi negara merdeka sehingga rakyat menginginkan kekuasaan dan senjata Jepang diserahkan kepada rakyat Indonesia. Pihak Jepang bersikeras tidak ingin menyerahkan kekuasaan dan senjata kepada masyarakat, sehingga menimbulkan perlawanan yang dimotori oleh Barisan Pemuda Indonesia yang dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama yang ada diwilayah Singkil.

Masa Kemerdekaan Republik Indonesia , Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang dipelopori oleh Ir Sukarno dan Drs Mohammad Hatta di Jakarta gaungnya telah sampai berkumandang di wilayah Singkil yang pada saat itu masih merupakan daerah tak bertuan (de jure ). Tetapi secara de facto pemerintahan di wilayah Singkil ada yang melaksanakan yaitu pegawai-pegawai penjajahan Jepang yang kemudian beralih menjadi pegawai Republik Indonesia. Rakyat mengakui dan sangat mendukung dan kemudian ditetapkan oleh Pemerintahan di Aceh pada waktu itu dengan dibantu oleh Organisasi Massa dan Komite Nasional Indonesia Wilayah Singkil.

Pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di wilayah Singkil dilakukan di Simpang Tiga Singkil dengan upacara yang sederhana oleh Mufti A.S sebagai “Wedana Darurat “pada saat itu didasarkan karena rasa tanggung jawab sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kemudian Pemerintahan di Kutaradja mengakuinya, hal ini ditandai dengan diundangnya Mufti A.S pada rapat pleno Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh yang diadakan di Kutaradja (Banda Aceh sekarang). Rapat Pleno Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh, memutuskan bahwa Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh dibubarkan dan kemudian diganti dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Aceh. Pada tahun 1957 partai-partai politik, alim ulama, cendekiawan, dan organisasi massa yang berada di Aceh Singkil mengadakan pertemuan di Singkil yang memutuskan pembentukan PANITIA AKSI PENUNTUT KABUPATEN OTONOMI SINGKIL (PAPKOS).

Panitia ini kemudian mengirimkan delegasinya ke Tapaktuan yang merupakan Kabupaten Induk dari wilayah kewedanan Singkil, untuk membicarakan tuntutan nurani masyarakat wilayah/kewedanan Singkil kepada Bupati Aceh Selatan untuk selanjutnya diteruskan ke Gubernur Aceh. Tapi tuntutan masyarakat belum berhasil untuk memperjuangkan berdirinya Kabupaten Aceh Singkil. Usaha masyarakat Aceh Singkil untuk memperjuangkan terbentuknya kabupaten Aceh Singkil tidak berhenti sampai disitu,, tetapi terus diperjuangkan tahun demi tahun sampai kemudian dibangun Kantor Penghubung Bupati Aceh Selatan di Singkil untuk mengakomodir keinginan masyarakat wilayah Singkil.

Usaha masyarakat untuk memperjuangkan Kabupaten Aceh Singkil akhirnya menjadi kenyataan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah oleh pemerintah Pusat. Akhirnya pembentukan Kabupaten Aceh Singkil terwujud dengan adanya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dengan Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang tersebut. Dengan dasar Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menghasilkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1999, tanggal 20 April 1999 memutuskan dan menetapkan wilayah Pembantu Penghubung Bupati di Singkil menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Aceh Singkil dengan Pejabat Bupati pertamanya Makmursyah Putra, SH.

Kabupaten Aceh Singkil adalah sebuah kabupaten yang berada di ujung barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ( NAD), Indonesia. Aceh Singkil merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan dan sebagian wilayahnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kabupaten ini juga terdiri dari dua wilayah yaitu daratan dan kepulauan. Kepualauan yang menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil adalah Kepulauan Banyak. Ibukota Aceh Singkil terletak di Singkil.

Singkil terletak di jalur barat sumatera yang menghubungkan Banda Aceh, Medan dan Sibolga, namun demikian jalurnya lebih bergunung-gunung dan perlu dilakukan banyak perbaikan akses jalan agar keterisolasian wilayah dapat teratasi. Sebelum Kabupaten Aceh Singkil terbentuk, wilayah Singkil dahulu merupakan daerah yang sangat terpencil dikarenakan kondisi alamnya yang masih berupa rawa-rawa dan hutan belantara yang sangat sulit untuk didatangi karena keterbatasan jalur transportasinya.

Jalur transportasi yang dahulu ada hanya melalui jalur laut, itupun harus ditempuh berhari-hari lamanya dari kota Sibolga (Sumatera Utara) untuk dapat mencapai kota Singkil. Sedangkan dari daerah pedalaman untuk sampai ke kota Singkil harus melalui jalur sungai yang juga memakan waktu yang lama pula. Keadaan ini berubah seiring dengan terbentuknya Kabupaten Aceh Singkil yang ditetapkan tanggal 20 april 1999 (Undang-Undang No. 14 tahun 1999), dan pelantikan Makmursyah Putra, SH sebagai Pejabat Bupati Kabupaten Aceh Singkil, tanggal 27 April 1999 oleh Menteri Dalam Negeri Atas Nama Presiden Republik Indonesia, di Jakarta.

Peresmian Kabupaten Aceh Singkil tanggal 14 Mei 1999 oleh Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Aceh di Lapangan Sultan Daulat Singkil. Maka sejak saat itu lambat laun wilayah Aceh Singkil menjadi semakin berkembang seiring dengan terbentuknya Kabupaten aceh Singkil. Tahap-demi tahap pembangunan di wilayah Singkil mulai berjalan dengan dibangunnya sarana transportasi jalan, perkantoran dan pelabuhan. Berbagai sarana dan prasarana mulai dibangun dan dibenahi, ini terlihat dengan dibangunnya jalan Singkil-Rimo-Subulussalam sehingga memudahkan masyarakat untuk berhubungan ke kota Singkil sebagai Ibukota Kabupaten.

Setelah jalan Singkil-Rimo –Subulussalam dibuka, maka tanah menjadi andalan untuk mendatangkan uang. Daerah yang semulanya hutan belantara kini berubah menjadi daerah yang produktif dan berkembang, yang semula merupakan daerah buangan setelah dibuka menjadi daerah bilangan. Tata ruang masih merupakan kendala yang sangat berat dihadapi oleh Kabupaten Singkil yang baru saja berdiri, akan tetapi hal ini tidak menjadi halangan berarti bagi Pemerintah Kabupaten aceh Singkil untuk mensejajarkan dirinya dengan Kabupaten-kabupaten lain di Propinsi Aceh. Berbagai fasilitas Pendidikan dan Kesehatan mulai banyak dibangun, begitu juga dengan fasilitas umum lainnya seperti jembatan dan jalan yang merupakan sarana vital bagi masyarakat umum. Beberapa sektor juga mulai dibenahi seperti sektor Pariwisata dengan mengandalkan Pulau Banyak sebagai tujuan utama wisata di Aceh Singkil.

Di sektor perkebunan juga mulai berkembang pesat, dengan banyaknya pembukaan lahan-lahan Perkebunan Kelapa Sawit oleh Perusahaan-Perusahaan Swasta untuk menanamkan investasinya di wilayah Aceh Singkil. Bukan hanya lahan perkebunan yang dibuka, tetapi Pabrik-Pabrik pengolahan minyak kelapa Sawit juga mulai dibangun oleh Perusahaan-Perusahaan Swasta tersebut, diantaranya adalah PT Socfindo (telah lama berdiri), PT. Uber Traco, PT Astra, PT Asdal, PT Delima Makmur dan lain-lain. Sektor Perikanan juga semakin digalakkan dengan memperbanyak kapal-kapal penangkap ikan bagi nelayan dimana merupakan mata pencaharian penduduk disepanjang pesisir wilayah pantai Singkil.

Kesemua sektor yang berhasil dibangun ini akhirnya semakin mempercepat gerak roda pembangunan di Kabupaten Aceh Singkil yang baru saja terbentuk.

Sumber: www.acehsingkilkab.go.id
Ditulis dalam Sejarah

dimanakah singkil


Singkil adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil, Nanggröe Aceh Darussalam, Indonesia.

Singkil juga merupakan ibukota Kabupaten Aceh Singkil. Singkil tidak hanya merupakan nama Salah satu Kabupaten di NAD apalagi hanya nama Kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil, tapi singkil adalah nama sebuah suku bangsa yang memiliki budaya dan sistem kekerabatan serta pranata sosial lainnya yang sudah lengkap, mendiami daerah geografis yang saat ini dikenal Kab. Aceh Singkil dan Kota Subulussalam, selain itu mereka juga hidup secara berkelompok dan membentuk beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara (Tanoh Alas)--Ridwansyah singkil (bicara) 08:29, 26 Januari 2010 (UTC)